Cradenta.com ~ Menelusuri jejak sejarah Kuningan, yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan di Jawa Barat, ternyata masih menyisakan banyak “misteri” di dalamnya. Artinya masih ada sisi-sisi gelap dari ceritera sejarah Kuningan yang belum berhasil disibak, diungkapkan, dikemukakan kepada publik bagaimana sebenarnya Sejarah Kuningan yang kronologis dari A – Z secara paripurna, kumplit atau selengkapnya. Baik itu Sejarah Kuningan di zaman prasejarah, zaman kuna (Hindu-Budha), zaman madya (Islam), zaman baru/modern.
Jejak sejarah pemerintahan kuningan berlangsung dalam 4 katagori masa yang berurutan yaitu:
1. Masa pemerintahan Kelompok Suku (prasejarah)
2. Masa pemerintahan Kerajaan (Hindu)
3. Masa pemerintahan Keadipatian/Kadipaten (Islam)
4. Masa pemerintahan Kabupaten (Hindia Belanda)
Penjelasan dari periode masa pemerintahan itu adalah sebegai berikut:
Masa Pemerintahan Kelompok Suku
Sebelum ada kerajaan, masyarakat di Indonesia telah mengenal sistem pemerintahan yang pemimpinnya disebut Kepala Suku yang memimpin suatu kelompok masyarakat tertentu. Kepala suku inilah akar dari konsep sistem pemerintahan berikutnya. Begitu pun yang terjadi di Kuningan, pernah berlangsung pemerintahan kelompok-kelompok suku di zaman prasejarah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda prasejarah zaman megalitikum & neolitikum di seputar kaki Gunung Ciremai, diantaranya berada di Dusun Cipari Desa/Kec.Cigugur. Makanya diduga bahwa daerah Kuningan sebelah barat ini dianggap sebagai daerah pemukiman masyarakat tertua di Kuningan.
Dalam sistem pemerintahan tradisional tertua ini, kepala suku tidak bekerja sendirian. Dalam hal ini diantaranya bahwa kekuasaanya dibagi lagi ke dalam 3 bagian pemegang kekuasaan yang dikenal dengan konsep “Tritangtu” yaitu: Sang Rama, Sang Resi, dan Sang Ratu. Sang Rama dianggap sebagai ketua adat, Sang Resi dianggap sebagai orang yang ahli di bidang keagamaan, dan Sang Ratu dianggap sebagai orang yang ahli di bidang pemerintahan. Dalam naskah Carita Parahiyangan diantaranya disebutkan bahwa sebelum Sanjaya menyerang ke Galuh (raja Purbasora), disarankan dulu oleh kakeknya (Ranghyang Sempakwaja) agar Sanjaya mengalahkan dulu 3 tokoh dari Kuningan: Sang Pandawa, Sang Wulan, dan Sang Tumanggal.
Konsep tritangtu ini mengingatkan kita pada konsep pembagian kekuasaan zaman Kerajaan Yunani/Romawi yang mengenal istilah “Triumvirat” (Pompius, Crasus, Julius Caesar pada Triumvirat I atau Antonius, Lepidus, Oktavianus pada Triumvirat II). Bahkan dalam zaman berikutnya ada konsep Trias Politica, yakni pembagian kekuasaan pada 3 kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jadi sebenarnya terlihat kalau konsep pemerintahan yang demokratis ini sudah berlangsung di Kuningan sejak zaman dulu (prasejarah).
Masa Pemerintahan Kerajaan
Sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem pemerintahan yang diperkenalkan oleh bangsa India ketika berlangsung hubungan perdagangan Indonesia-India pada permulaan abad pertama Masehi. Bersamaan dengan itu pula bangsa India memperkenalkan agama Hindu-Budha, tulisan Palawa (=menandakan awal sejarah bangsa Indonesia), bangunan candi, kesenian, kesusastraan (Ramayana, Mahabharata), dll.
Dalam sistem pemerintahan kerajaan pemimpinnya disebut dengan “Raja”. Dengan adanya kerajaan ini maka sebutan “Kepala Suku” yang pernah dikenal dalam tradisi pemerintahan sebelumnya, maka akhirnya berubah penyebutannya menjadi “Raja”.
Pada waktu itu di Kuningan tumbuh dan berkembang pemerintahan Kerajaan yang berbasis agama Hindu yaitu Kerajaan Saunggalah. Nama Saunggalah diambil dari nama istana/keratonnya yang disebut dengan Saunggalah (=rumah panjang). Kerajaan ini dibangun sekitar abad ke-7 M atau mungkin sebelumnya oleh Sang Wiragati (Prabu Wiragati) atau dijuluki pula Sang Pandawa. Mencapai zaman kebesarannya ketika diperintah oleh Sang Resi Demunawan atau Ranghyangtang Kuku atau Sang Kuku, atau Sang Seuweukarma (=ahli bidang hukum) sekitar abad ke-8 s.d ke-13 M. Namun akhirnya pudar setelah meninggalnya beliau karena 2 puteri beliau menikah dengan Sang Banga, dan Sang Manarah yang menjadi raja Galuh dan Pajajaran. Berikutnya Kerajaan Saunggalah akhirnya hanya merupakan daerah kecil yang mengelola masalah keagamaan (berbasis agama) atau seperti daerah mandala. Sebagian wilayahnya di Tasikmalaya (Galunggung) malah menjadi Saunggalah baru di belahan Jawa Barat bagian Selatan. Berita terakhir abad ke-13 bahwa pada masa pemerintahan Sang Lumahing Taman atau Prabu Ragasuci (raja Pajajaran) sebelum menempati istana di Pakuan pernah menempati dulu keraton di Saunggalah.
Masa Pemerintahan Ke-Adipati-an
Kuningan pada masa ini adalah masa pemerintahan yang dipimpin pertama oleh Sang Adipati
Kuningan (Suranggajaya, putra Ki Gedeng Luragung yang diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati). Adipati Kuningan diangkat sebagai pemimpin daerah Kuningan yang dilantik langsung oleh Sunan Gunung Jati pada tanggal 1 September 1498. Hari pelantikan ini diabadikan sebagai Hari Jadi Kuningan oleh Pemerintahan Daerah Kab. Kuningan.
Masa pemerintahan Sang Adipati Kuningan berarti masa pemerintahan ketika agama Islam sudah masuk dan tengah berkembang di Kuningan. Agama Islam masuk di Kuningan diperkirakan tahun 1450 atas perannya Syekh Bayanullah atau yang nanti dikenal dengan nama Syekh Maulana Akbar. Begitu juga peran Sunan Gunung Jati dalam proses Islamisasi di Luragung (Buni Haji) yang diikuti oleh istrinya yaitu putri Ong Tien atau Nyai Rara Sumanding yang sedang mengandung waktu itu.
Peralihan kekuasaan dari pemerintahan sebelumnya, yakni Ratu Selawati (Hindu) ke Adipati Kuningan (Islam) berlangsung damai, ditandai dengan pernikahan Ratu Selawati dengan Syekh Maulana Arifin (putra Syekh Maulana Akbar).
Sepeninggal Sang Adipati Kuningan berikutnya tampuk pemerintahan dilanjutkan oleh putra, cucu. cicitnya. Diantaranya Rd. Kusumajaya (Geusan Ulun Kuningan), dan Rd. Mangkubumi.
Berdasarkan tradisi lisan, sekitar abad 15 Masehi di daerah Kuningan sekarang dikenal dua lokasi yang mempunyai kegiatan pemerintahan yaitu Luragung dan Kajene. Pusat pemerintahan Kajene terletak sekarang di Desa Sidapurna Kecamatan Kuningan. saat itu, Luragung dan Kajene bukan lagi sebuah kerajaan tapi merupakan buyut haden. Masa ini, dimulai dengan tampilnya tokoh Arya Kamuning, Ki Gedeng Luragung dan kemudian Sang Adipati Kuningan sebagai pemipun daerah Kajene, Luraugng dan kemudian Kuningan.
Mereka secara bertahap di bawah kekuasaan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Djati (salah satu dari sembilan wali, juga penguasa Cirebon). Tokoh Adipati Kuningan ada beberapa versi. Versi pertama Sang Adipati Kuningan itu adalah putera Ki Gedeng Luragung (unsur lama). Tetapi kemudian dipungut anak oleh Sunan Gunung Djati (unsur baru).
Dia dititipkan oleh aya angkatnya kepada Arya Kamuning untuk dibesarkan dan dididik. Kemudian menggantikan kedudukan yang mendidiknya. Versi kedua, Sang Adipati Kuningan adalah putera Ratu Selawati, keturunan Prabu Siliwangi (unsur lama), dari pernikahannya dengan Syekh Maulanan Arifin (unsur baru). Disini jelas terjadi kearifan sejarah.
Berdasarkan Buku Pangaeran Wangsakerta yang ditulis abad ke 17, Sang Adipati Kuningan yang berkelanjutan penjelasanya adalah berita yang menyebutkan tokoh ini dikaitkan dengan Ratu Selawati. Bahwa agama Islam menyebar ke Kuningan berkat upaya Syek Maulana Akbar atau Syek Bayanullah. Dia adalah adik Syekh Datuk Kahpi yang bermukim dan membuka pesantren di kaki bukit Amparan Jati (sekarang Cirebon).
Syekh Maulana Akbar membukan pesantren pertama di Kuningan yaitu di Desa Sidapurna sekarang, ibu kota Kajene. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, putri Surayana. Ada pun Surayana adalah putra Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana, Raja Sunda yang berkedudukan di Kawali (1475-1482) yang menggantikan kedudukan ayahnya Prabu Niskala Wastu Kancana atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.
Dari pernikahan dengan Nyi Wandansari berputra Maulana Arifin yang kemudian menikah dengan Ratu Selawati. Ratu Selawati bersama kakak dan adiknya yaitu Bratawijaya dan Jayakarsa adalah cucu Prabu Maharaja Niskala Wastu Kancana atau Prabu Siliwangi. Bratawijaya kemudian memimpin di Kajene dengan gelar Arya Kamuning. Sedangkan Jayaraksa memimpin masyarakat Luragung dengan gelar Ki Gedeng Luragung.
Mereka bertiga, yakni Ratu Selawati, Arya Kamuning (Bratawijaya), Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) diIslamkan oleh uwaknya yakni Pangeran Walangsungsang. Adapun Sang Adipati Kuningan yang sesungguhnya bernama Suranggajaya adalah anak dari Ki Gedeung Luragung (namun hal itu masih merupakan babad peteng atau masa kegelapan yang sampai saat ini tidak diketahui kebenarannya sesungguhnya anak siapa Sang Adipati Kuningan).
Atas prakarsa Sunan Gunung Djati dan istrinya yang berdarah Cina Ong Tin Nio yang sedang berkunjung ke Luragung, Suranggajaya diangkat anak oleh mereka. Tetapi pemeliharaan dan pendidikannya dititipkan pada Arya Kamuning. Sedangkan Arya Kamuning sendiri dikabarkan tidak memiliki keturunan. Akhirnya Suranggajaya diangkat jadi adipati oleh Susuhunan Djati (Sunan Gunung Djati) menggantikan bapak asuhnya.
Penobatan ini dilakukan pada tanggal 4 Syura (Muharam) Tahun 1498 Masehi. Penanggalan tesebut bertempatan dengan tanggal 1 September 1498 Masehi. Sejak tahun 1978, hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan sampai sekarang.
Kuningan Masa Kabupaten
Menurut pendapat Prof.Dr. H. Sobana Hardjasaputra (Guru Besar Sejarah UNPAD) penetapan Kuningan sebagai Kabupaten mengacu pada Peraturan No 23 th 1819 (staatsblad Hindia Belanda) yang menetapkan nama Kuningan sebagai nama satu dari lima Kabupaten di bawah naungan Keresiden Cirebon, yaitu: Cirebon, Maja, Bengawan Wetan, Kuningan, dan Galuh. Berarti berdasarkan staatblad bahwa th 1819 itulah sebagai awal berdirinya Kuningan sebagai nama Kabupaten (= pemerintahan daerah Tk II).
Silsilah Sang Adipati Kuningan
Berikut ini susunan silsilah Sang Adipati Kuningan (Raja Daerah Kuningan pada akhir abad XV – awal abad XVI Masehi) berdasarkan sumber sejarah yang ada. Mudah-mudahan ada manfaatnya, khususnya buat pengetahuan warga masyarakat Kuningan sendiri, dan para pembaca pada umumnya.
Mengenai tokoh “Suralaya”, yaitu ayahanda dari Jayaraksa, Ratu Selawati, dan Bratawiyana, ada juga yang menyebut dengan julukan “Ranggamantri”. Padahal di generasi berikutnya kita lihat juga ada nama Ranggamantri (Pucuk Umun Talaga). Dari hal tersebut seolah-olah nama Ranggamantri muncul sebagai : 1) nama lain dari Prabu Surawisesa / Rd. Suralaya, dan 2) Pucuk Umun Talaga (putera dari Rd. Munding Surya). Kiranya nama Ranggamantri ini bukanlah nama orang yang sesungguhnya, tetapi sepadan dengan nama gelar jabatan para bangsawan istana/keraton, seperti halnya: Adipati, Tumenggung, dll.
Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa sepeninggal Rd. Kusumajaya (Geusan Ulun Kuningan), sebenarnya beliau mempunyai banyak putera & puteri (sebagaimana di jelaskan dalam tulisan lain di blog ini). Namun yang ditulis hanya Mangkubumi karena beliaulah yang mempunyai andil besar dalam meneruskan estafet pemerintahan di Kuningan pada masa itu.
salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh seorang raja dari pemerintahan tradisional zaman dulu itu diantaranya adalah harus berdasarkan kepada hubungan garis pertalian darah yang disebut di atas yakni: Trahing Kesumah, Rembesing Madu, Wijining Tapa, dan Tedhaking Andanawarih; yang artinya bahwa seorang raja yang diangkat mesti dari keturunan ningrat (kesumah=bunga) atau bangsawan, tapa=pertapa=alim ulama, berwawasan agama, dan berasal dari keturunan pilihan utama.
Pemda Kab. Kuningan pernah menyimpan naskah hasil penelitian tentang Sejarah Kuningan yang disusun oleh team peneliti, Bpk Ahmad Dasuki dkk. Juga buku sejarah Kuningan yang pernah ditulis oleh Alm Bpk. Edi S. Ekadjati yang memberikan gambaran tentang Sejarah Kuningan dari hasil penelitian beliau berdasarkan sumber-sumber sejarah yang berhasil dikumpulkannya. Namun dari semuanya itu nampak & memang diakui bahwa masih ada (bahkan banyak) sisi-sisi gelap yang belum berhasil disibakkan / dikuakkan tentang bagaimana sejarah itu sebenarnya terjadi, terutama Kuningan zaman lampau (purba, kuna, madya). Seperti halnya ada kesimpangsiuran mengenai suatu nama tokoh (Arya Kamuning/Adipati Kuningan/Adipati Ewangga), tempat (Arile/Kajene/Kadjaron?), terputusnya mata rantai genealogi, hierarki birokrasi/para penguasa, masalah waktu yang terkadang meloncat-loncat (abad 8 tiba-tiba berikutnya muncul di abad 11), dsb. Ini tentu saja membutuhkan perhatian lanjutan dari para pemerhati Sejarah Kuningan.
Sebab utama dari masih ada sisi gelapnya Sejarah Kuningan yang belum terungkap itu adalah karena sumber sejarahnya yang masih minim. Belum banyak sumber sejarah yang berhasil digali tentang eksistensi Kuningan di masa lampau tersebut. Apakah sumber benda, sumber tertulis, sumber lisan, atau sumber rekaman. Sumber dalam negeri atau sumber luar negeri. Bahkan sumber sejarah Kuningan yang ada bahkan lebih cenderung banyak diambil dari sumber tradisional (tradisi lisan) yang banyak mengandung unsur mitos, dan sumber sastra sejarah yang notabene perlu disiangi lagi di dalamnya untuk mencapai tingkat kevalidan yang obyektif. Sejarah memang diharapkan yang obyektif, tetapi sulit menghindari unsur subyektifitas. Pekerjaan besar bagi masyarakat Kuningan, bagaimana berupaya mengungkap Sejarah Kuningan yang sesungguhnya secara lengkap.
Sumber Penulis : penulis Yaya Sunarya, S.S, M.Si (Sejarah Kuningan / Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke)
info by :