06-03-2014
JAKARTA – Chevron Geothermal Indonesia,
melalui anak usahanya PT Jasa Daya Chevron, diperkirakan mengalokasikan
investasi senilai US$ 390 juta-US$ 440 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun-5
triliun untuk mengembangkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
Gunung Ciremai, di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menurut pejabat
pemerintah. Target operasional (commercial operational date/COD)
PLTP Gunung Ciremai pada 2020.
Rida
Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan lelang wilayah
kerja pertambangan (WKP) panas bumi Gunung Ciremai dilakukan Pemerintah
Provinsi Jawa Barat pada 2011. “Lelang terbuka diikuti dua persuahaan, yaitu PT
Hitay Renewable dan PT Jasa Daya Chevron. Pemenang lelang Chevron," ujar
dia di Jakarta, Rabu.
Menurut Rida, Pemerintah Provinsi Jawa Barat belum menerbitkan Izin
Usaha Pertambangan (IUP) Chevron karena sedang dalam tahap negosiasi
kepemilikan saham (shareholder) Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) dengan pemenang lelang. Gubernur Jawa Barat Achmad Heryawan
berkoordinasi dengan PT Fajar Jasa Sarana, BUMD yang tertarik untuk
menjadi shareholder di proyek tersebut. "Chevron
membuka diri untuk BUMD yang akan menjadi shareholder,"
tukas dia.
Wilayah Kerja Pertambangan Gunung Ciremai mencakup lahan seluas 24.330 hektare.
PLTP Gunung Ciremai masuk dalam Crash Program 10.000
megawatt (MW) Tahap II sesuai Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 21 Tahun
2013 dengan rencana pengembangan 2x55 MW.
Gubernur Jawa Barat menetapkan panitia lelang wilayah kerja pertambangan panas
bumi Gunung Ciremai berdasarkan keputusan Gubernur Jawa Barat nomor
540/kep.1269-DIS ESDM/2011 tanggal 4 Oktober 2011 yang anggotanya unsur-unsur
Kementerian ESDM yang terdiri atas Ditjen EBTKE dan Ditjen Kelistrikan,
unsur-unsur Pemda, dan Badan Geologi.
Paul Mustakim, General Manager Policy, Government and Public Affair Chevron
Geothermal Indonesia, mengakui Chevron telah ditetapkan sebagai pemenang
tender WKP Gunung Ciremai oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada Januari
tahun lalu. Saat ini perusahaan melakukan penyelidikan awal terkait
potensi panas bumi di WKP tersebut. Investasi untuk pengembangan satu megawatt
listrik panas bumi sekitar US$ 3,5 juta per megawatt.
Sepanjang 2014, sejumlah wilayah kerja pertambangan panas bumi yang ditargetkan
untuk dikembangkan antara lain satu wilayah kerja di Sumatera Utara, satu
wilayah di Sumatera Barat, satu wilayah di Bengkulu, dua wilayah di Lampung,
satu wilayah di Banten, dua wilayah di Jawa Tengah, satu wilayah kerja di
Maluku Utara, satu wilayah kerja di Sulawesi Tengah, satu wilayah kerja di Nusa
Tenggara Barat dan satu wilayah kerja pertambangan di Nusa Tenggara
Timur.
Kajian Tarif
Rida mengatakan Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian
Development Bank) akan melaporkan hasil kajiannya terhadap tarif listrik panas
bumi pada akhir bulan ini. World Bank dan ADB yang menjadi konsultan
independen pemerintah akan memberikan masukan terkait metode penentuan tarif
listrik panas bumi untuk menggunakan batas atas (ceiling price).
Selama ini pemerintah melelang pembangunan PLTP dengan kapasitas tertentu.
Sementara World Bank dan ADB menyarankan agar tidak dipatok berdasarkan
kapasitas pembangkit.
Rida mengatakan mekanisme yang diusulkan ADB dan Bank Dunia memberikan pilihan
kepada pengembang, namun tetap sesuai dengan tujuan pemerintah.
“Mereka tidak menetapkan kapasitasnya. Begitu dipatok satu harga, nanti biar
peserta lelang yang menghitung berapa kapasitas pembangkitnya," kata
dia.
Dalam kebijakan energi nasional, seluruh tarif energi baru terbarukan
dikonsepkan menggunakan mekanisme feed in tariff.
Sebelum meminta ADB dan Bank Dunia menjadi konsultan, pemerintah memiliki tiga
alternatif tarif listrik panas bumi, yakni feed in tariff, ceiling
price dan kombinasi dari keduannya.
Kombinasi konsep feed in tariff dan ceiling price dimungkinkan dengan adanya pembagian
demografi berdasarkan potensi yang ada. Wilayah yang berada di jalur gunug
berapi seperti Sumatera, Jawa, dan Maluku dinilai cukup menggunakan ceiling price. Namun, proyek di luar wilayah tersebut
membutuhkan feed in tariff.
Masalah tarif panas bumi nantinya akan diatur dalam revisi Peraturan Menteri
ESDM seiring dengan revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
yang ditargetkan tuntas April 2014.
Rony Gunawan, Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy, mengatakan
Pertamina Geothermal berharap pemerintah segera memperbaiki tarif listrik panas
bumi.
“Paling tidak di kisaran US$ 10-12 sen, seperti minyak ada harga ICP (Indonesia
Crude Price)-nya. Kami harapkan geothermal juga
ada suatu harga yang ditetapkan oleh pemerintah baik untuk listrik maupun
uap,” kata dia.(*)